Teknologi Terkini Untuk Produktivitas Kelapa Sawit di Indonesia
Oleh: Onky Dwi Wardana
NIM: 011.18.002
Hidup pada era digital mau tak mau manusia ‘dipaksa’
berubah, berpikiran terbuka, mengikuti perkembangan teknologi sekaligus
menggunakannya secara bijak. Yang paling mempengaruhi kehidupan manusia pada era
ini adalah internet. Ruang maya besar ini kerap membuat kita dilemma, selain
bermanfaat besar dalam berbagi ilmu pengetahuan, juga dapat memberikan dampak
psikologis negative. Tapi apakah kita terus-terusan menyalahkan kemajuan
teknologi yang telah banyak memberikan
kemudahan?
Pada tanggal 18 Mei 2017, Grand Sahid Hotel Jakarta, Media Perkebunan
menggelar acara bertajuk “Inovasi dan Teknologi Terkini
Dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit Secara Berkelanjutan”. Menurut Haryono, Ketua Komisi Teknis Pangan dan Pertanian, Dewan Riset Nasional,
jika bicara keberlanjutan kelapa sawit di Indonesia, berarti sektor lain juga
harus dibawa.
Keberlanjutan yang berhubungan dengan inovasi dan teknologi terkini. Ada
formula dalam hal ini agar Negara menjadi maju, yaitu karya yang memiliki added
value, di dalamnya memuat Open Sains, Inovation, dan Inovation Networking. Open
sains berarti kita harus berpikiran luas dan terbuka, proses riset diperbarui
secara efisien melalui digital dan bekerja sama dengan para pakar internal
maupun eksternal. Misalnya saja peneliti ITB yang banyak digunakan oleh
perusahaan-perusahaan, mereka tidak saja memanfaatkan peneliti internal
perusahaan tapi juga peneliti di luar mereka. Pada era sekarang, kita harus
melakukan tranformasi digital, hadirnya Web 3.0 memberikan peluang tersebarnya
informasi yang semakin memudahkan, dan ini harus dimanfaatkan. Dengan
mengunakan teknologi, pengetahuan, hasil riset bahkan harga sawit ini bisa
dilihat dari internet. Pembicara kedua, Dr. Dwi Asmono, Director of Research
& Development PT. Sampoerna Agro Tbk memperlihatkan produktivitas kelapa
sawit [update 10 April 2017], Indonesia berada di peringkat pertama di dunia.
Padahal jika bicara kemajuan teknologi, Indonesia masih berada jauh di bawah
Malaysia dan Negara lainnya. Bayangkan, bila produktvitas kelapa sawit Indonesia
menggunakan teknologi terkini [inovasi], Nusantara bisa menjadi Negara maju
yang disegani. Untuk meningkatkan produtivitas diperlukan riset dan tentu anggaran yang
besar. Alasan itulah dibutuhkannya kolaborasi dan kesadaran Negara termasuk
rakyatnya agar Negara kita tidak tertinggal jauh dan kehilangan banyak. Riset
jelas menghasilkan inovasi. Dalam hal ini, ada beberapa factor yang menjadi
indikasi berhasilnya produktvitas: Germplasm [bibit/benih] yang berpotensi,
sumber daya manusia, kondisi area, pratek manajemen, dan kondisi lingkungan. Dr.
Dwi Asmono mengatakan bahwa bibit kelapa sawit Indonesia sebenarnya berasal
dari Madagaskar, Afrika Barat yang hadir di bumi pertiwi pada tahun 1878 bahkan
produksinya lebih baik daripada Negara asalnya. Kemudian, berkembanglah
bermacam-macam varietas, di Indonesia sendiri memiliki 127 varietas kelapa
sawit yang berasal dari perkawinan silang. Ada 3 jenis kelapa sawit yang dibedakan
menurut ketebalannya, yaitu: Dura [cangkang yang tebal], Tenera [tipis], dan
Pisifera [tidak ada cangkang]. Riset terkini mengawinkan tipe Dura dan Pisifera
agar menghasilkan Tenera yang memiliki kandungan minyak 100%. Perkawinan yang
banyak dipengaruhi gen dan menghasilkan varietas diseleksi yang terbaik dengan
cara meningkatkan efisiensi pembiakan dan
mengintegrasikan metode molekuler dan Pengetahuan. Program pembiakan molekuler
[molecular breeding] merupakan lingkaran yang terdiri dari: Field sample origin
-> R/DNA Bank -> Genomic Reseacrh -> Genomic Application ->Field
Application.
Dalam program tersebut, kita melihat adanya aplikasi yang berperan.
Seperti kita ketahui atau prediksi, digitalisasi akan menjadi raja yang baik
hati, membantu juga memudahkan kehidupan orang-orang dalam banyak hal. Tony
Liwang, peneliti, mengungkapkan bahwa pembudidayaan dua tanaman unggulan
Indonesia, padi dan kelapa sawit bergerak lamban. Selama 5000 - 6000 tahun,
padi menggunakan cara yang sama, sedangkan kelapa sawit lebih 100 tahun, juga
masih menggunakan cara yang sama. Peningkatan produktvitas kelapa sawit hanya
34%selama 44 tahun atau 0.77% per tahun. Salah satu penyebabnya, pohon kelapa
sawit membutuhkan waktu 3 –
5 tahun untuk berbuah. Waktu yang tidak sebentar sedangkan kebutuhan minyak
kelapa sawit meningkat, mengingat manfaatnya yang banyak bagi manusia dan
bumi. Hal kedua yang diangkat Tony Liwang ialah “Teosinte”,
sumber pembelajaran genetika yang merupakan salah satu sistem karakteristik
genetika molekuler tanaman yang paling baik, termasuk studi yang memanfaatkan
sampel DNA yang diperoleh dari spesimen arkeologi. Sebelumnya telah dilakukan
terhadap tanaman jagung yang tidak saja menghasilkan satu warna kuning tapi ada
juga campuran pada tubuh jagung yang berwarna putih dan kuning, dan putih
dengan ungu. Mengingat luasnya penggunaan teosinte dalam analisis genetika,
pemahaman halus tentang struktur filogenetika dan kependudukannya dapat
membantu memandu penelitian lebih lanjut pada
semua area. Setelah itu dilakukan maping genome yang hasil penelitian
mengurutkan kelapa sawit sebagai tanaman
yang paling tinggi [1.71 GB] daripada tanaman lain [jagung, tomat, kedelai,
dll] yang mempunyai perbaikan genetic yang cepat dan bervariatif, memiliki gen asam lemak yang tinggi
representasinya. Dan zat yang mirip dengan minyak bumi ialah zat yang mengandung
asam lemak. Melalui teknologi finger print yang berhasil diciptakan, kita bisa
melihat jenis, karakter [misal ketahanan pada penyakit], ketebalan, dan warna
kelapa sawit. Tidak hanya itu,kita juga bisa mengetahui secara akurat berapa
lama tanaman kelapa sawit akan menghasilkan buahnya. Karya bioteknologi, tidak
saja seputar itu, tapi juga mampu melahirkan tanaman-tanaman kelapa sawit yang
memiliki karakter yang diinginkan. Artinya kelapa sawit tidak perlu waktu 4 - 5
tahun untuk berbuah, cukup di bawah 1 tahun. Melalui pemuliaan tanaman
berdasarkan marka molekuler, peningkatan produktivitas kelapa sawit bisa lebih
efisien dan efektif.
Sumber : https://indonesiana.tempo.co/read/111630/2017/05/23/sarinovitaar/teknologi-terkini-untuk-produktivitas-kelapa-sawit-di-indonesia?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C5598260173
No comments: