LIke ^_^

WELCOME TO GALERY OF TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAWIT 18 ITSB

TEKNOOGI INDUSTRI REVOLUSI PENGOLAHAN SAWIT



Oleh        : Aditya Pratama Putra

NIM        : 011.18.011 


Masa Greater Mechanization  Dan Diversifikasi Produk Kelapa Sawit Indonesia



          Industri 4.0 adalah masa greater mechanization. Masa tersebut adalah masa dimana mesin mampu menjalankan instruksi atau perintah melalui sistem computer yang dikendalikan oleh manusia, sehingga mesin tersebut mampu dapat memproduksi dengan lebih efisien. Masa ini turut berpengaruh terhadap komoditas perkebunan tidak terkecuali komoditas sawit. Penggunaan mesin dan teknologi akan meningkatkan diversifikasi produk yang dapat dihasilkan dengan bahan dasar kelapa sawit.
          Minyak kelapa sawit merupakan bahan dasar pembuatan berbagai produk toiletries, makanan, kosmetik, farmasi, dan bahan bakar nabati. Industri hilir memberikan keuntungan lebih besar bagi suatu negara karena memberikan nilai tambah produk dan membuka lapangan pekerjaan. Seperti pengolahan CPO menjadi minyak goreng memberikan nilai tambah 50%, fatty acid  100, ester 150-200, biodiesel 66%, surfaktan 300-400% dan kosmetik 600-1000%.
          Minyak goreng merupakan industri hilir kelapa sawit Indonesia yang paling menonjol. Dari 17 industri pengolahan perkebunan, minyak goreng memiliki nilai tambah bruto tertinggi yaitu Rp 374,6 miliar. Walaupun di sisi lain kompetisi industri minyak goreng di Indonesia didominasi oleh perusahaan multinasional.
          Tingginya keuntungan industri hilir kelapa sawit seharusnya meningkatkan minat pelaku usaha dan pemerintah, tetapi hilirisasi di Indonesia termasuk lambat dibandingkan negara lainnya. Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Arif Budimanta pun menyatakan bahwa pelaku industri sawit Indonesia terbuai pada tingginya poduksi CPO. Padahal di sisi lain terdapat potensi besar diversifikasi produk sawit.
          Tingginya produksi minyak goreng Indonesia tidak lepas dari keringanan pajak yang dibuat pada tahun 2011 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 128/PMK.011/2011 dan terus diubah pada tahun 2012 dan 2013 namun susunan tarif bea keluar tidak berubah. Kebijakan ini dirasa seperti insentif bagi industri hilir kelapa sawit dan diikuti dengan peningkatan signifikan seperti yang ditunjukan oleh 


Figure 1. Perkembangan Jumlah Merek Minyak Goreng

Sumber : Pemendag HPE 2014; Djaka Kusmarta dan Hari Poerna Setiawan, 2015
          Peningkatan jumlah merek minyak goreng pada tahun 2012 ke 2013 mencapai hampir 90%. Akan tetapi berdasarkan data Kementerian Perdagangan, 70% didominasi oleh merek asing. Hal ini menunjukkan kesempatan tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional. Sedangkan tujuan untuk mendorong merek minyak goreng Indonesia ke pasar global masih belum tercapai.
          World Intelectual Property Right Organization (WIPO) memiliki data paten produk kelapa sawit sejumlah 7.456 inovasi. Kepemilikan paten tersebut didominasi oleh negara-negara yang tidak memproduksi minyak kelapa sawit. Merujuk pada figure 2 terlihat bahwa 55% inovasi paten dimiliki oleh Amerika Serikat. Perusahaan yang memiliki paten kelapa sawit merupakan perusahaan yang memproduksi kebutuhan sehari-hari. Ada pula perusahaan tersebut yang mengimpor produk ke Indonesia atau berproduksi di Indonesia. Seperti Unilever Plc, Unilever N.V dan L’oreal yang masing-masing memiliki inovasi paten sebanyak 210, 152, dan 105.



Figure 2 Negara-negara Penghasil Inovasi Paten Kelapa Sawit

Sumber : WIPO 2011; Wibowo dan Gumbira Sa’id 2011
          Indonesia selaku produsen kelapa sawit tertinggi di dunia hanya mengajukan 3 buah inovasi paten. Di tingkat ASEAN, Indonesia menjadi yang terendah karena memiliki 2,5% dari seluruh paten minyak kelapa sawit di ASEAN pada tahun 2011. Malaysia memiliki 79 inovasi paten atau 65,83% di ASEAN, diikuti oleh Singapura dengan 34 inovasi paten atau 28,33% dan ada Thailand memiliki 4 paten atau 3,33%.
         
          Rendahnya aplikasi paten produk sawit Indonesia perlu menyadarkan pentingnya penelitian dan pengembangan. Salah satu aktor potensial yang dapat membantu yaitu Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Tantangan diversifikasi selain modal, juga teknologi. BPDP juga dapat mendukung pengembangan teknologi untuk diversifikasi sawit. Walaupun di sisi lain masing-masing pelaku industri pun mampu apabila ingin meningkatkan diversifikasi produk kelapa sawitnya.
          BPDP selaku turunan tangan dari pemerintah memiliki dasar hukum melakukan hal di atas. Terdapat UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perkebunan menyatakan bahwa pemerintah berperan dalam pembinaan dan pengawasan industri perkebunan, termasuk pengolahan produk kelapa sawit. Dapat dilakukan subsidi permesinan terutama bagi kelompok usaha atau pengusaha menengah. Bentuk dari pembinaan tersebut tentu bukan charity saja, tetapi mekanisme sharing seperti pembagian hasil melalui pajak bumi bangunan (PBB) dapat dilakukan.
          Kepemilikan paten produk sawit Malaysia lebih banyak dibanding Indonesia karena hal ini sudah ada dalam perencanaan kebijakan Malaysia sejak 1960-an. Malaysia membuat Federal Land & Development Authority (FELDA) yang berperan mengurangi kemiskinan salah satunya melalui distribusi lahan kelapa sawit. Selanjutnya Malaysia melakukan nasionalisasi pada tiga perusahaan sawit. Pada tahun 1970an Malaysia mulai bergeser dari ekspor CPO menjadi produk olahan dengan cara melalui pajak dan insentif. Sehingga Malaysia mampu menjadi hub industri hilir kelapa sawit. Sedangkan Indonesia memberikan perhatian pada diversifikasi produk sawit sekitar sepuluh tahun terakhir.
          Pemerintah Indonesia juga mulai memerhatikan potensi kelapa sawit sebagai biofuel. Pada Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Nasional menyebutkan bahwa sawit menjadi salah satu sumber energi untuk listrik dan transportasi. Hal ini sudah direncanakan hingga tahun 2025 dengan target produksi yang terus meningkat. Oleh karena itu perlu meningkatkan produksi biodiesel dan memastikan ketersediaan Crude Palm Oil (CPO).
          Selain untuk memenuhi kebutuhan nasional, biodiesel sawit pun potensial untuk diekspor. Negara eksportir biodiesel tertinggi didunia yaitu Belanda, Argentina, dan Jerman. Indonesia berada pada urutan ketujuh. Ekspor biodiesel Indonesia cukup fluktuatif, terutama pada tahun 2015 terjadi penurunan -78% ekspor biodiesel dan peningkatan 39% pada tahun 2016. Negara-negara lain pun terus meningkatkan ekspor biodiesel. Seperti Bulgaria selaku eksportir kesepuluh di dunia setiap tahun meningkatkan ekspor hingga ratusan persen, pada tahun 2013-2014 meningkat 413%, 2014-2015 sebanyak 146% dan pada 2015-2016 hingga 491%.
          Biodiesel Indonesia saat ini didominasi oleh PT. Wilmar Bioenergy dengan kapasitas 1,3 juta ton per tahun, PT. Musim Mas di Medan dengan kapasitas 235.000 ton per tahun dan beberapa perusahaan lainnya. Herfindahl-Hirschman Market Concentration Index untuk biodiesel Indonesia yaitu 0,8 atau mendekati 1. Artinya pasar biodiesel Indonesia cukup tersebar dan tidak terkonsentrasi pada satu negara saja. Hal ini cukup baik, akan tetapi perlu adanya peningkatan jumlah produksi.
          Jadi, adanya kebijakan pemerintah yang mendukung hilirisasi kelapa sawit seharusnya bisa mempercepat diversifikasi produk sawit. Stakeholder sawit baik pemerintah dan pelaku usaha perlu bekerja sama. Oleh karena itu, penting untuk memberikan kepastian pajak dan kemudahan izin usaha sehingga mampu meningkatkan produsen hilir sawit nasional. Hal ini karena selama ini kesempatan pengembangan lebih banyak dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional. Baik pemerintah maupun para pemain di industri sawit harus memanfaatkan masa industri 4.0 untuk meningkatkan diversifikasi produk kelapa sawit.


Daftar Pustaka :

http://forbil.org/id/article/23/industri-40-dan-diversifikasi-produk-kelapa-sawit-indonesia

http://forbil.org/manage/assets/filemanager/userfiles/negara-negara_penghasil_sawit.png

No comments:

Powered by Blogger.